KASUS KREDIT MACET
BESERTA ANALISINYA
Kasus :
Disuatu desa tepatnya
tetangga saya sendiri, sering di datangi oleh pihak Bank, entah itu Bank mana.
Saya tertarik untuk mencari tahu permasalahan tersebut, ketika saya bertanya
kepada ibu saya. Ternyata tetangga saya itu (sebut saja si A) mengalami suatu
permasalahan dalam kredit mengembalikan uang. Singkat ceritnya, Si A di rumah
memang mempunyai toko kecil yang menjual berbagai macam sembako, tapi usaha
tersebut mungkin tidak cukup untuk membiayai ke 4 anaknya yang masih duduk di
bangku SD, SMP, dan Kuliah. Sehingga mengharuskan si A untuk pinjam dana di
suatu Bank guna untuk bisa memenuhi kebutuhannya dan sedikit memperbesar usaha
tokonya tersebut. Harapannya dengan memperbesar usaha di toko tersebut,
penghasilan akan semakin bertambah dan bisa untuk membayar angsuran di Bank. Si
A akhirnya meminjam uang di suatu Bank sebesar 10 juta dengan jaminan BPKB
motor, kredit tersebut ber jangka waktu 2 tahun atau 24 bulan dengan bunga 2 %
per bulan. Awalnya si A membayar angsuran tersebut berjalan lancar dan sesuai kewajiban.
Tetapi tanpa di duga pada angsuran ke 12 pembayaran tersebut mulai terlambat
dari jadwal yang telah ditentukan oleh Bank, mungkin karena tokonya lagi sepi
pembeli atau karena faktor apa saya juga kurang tahu. Ketika dapat ditemui oleh
pihak Bank, Si A mengaku bahwa usahanya menurun sehingga tidak mampu lagi
memenuhi kewajibannya. Tetapi si A akan mengusahakan untuk bisa membayar
angsuran kredit tersebut. Akhirnya pihak Bank melakukan suatu pembinaan rutin
dikarenakan agar si A tidak semakin berlarut-larut, Bank juga menyampaikan
Surat peringatan dan panggilan kepada si A serta melakukan pendekatan pada
keluarga dan orang tuanya. Upaya tersebut belum membuahkan hasil yang
menggembirakan bagi pihak Bank. Karena si A nampaknya acuh tak acuh terhadap peringatan
tersebut.
Penyelesaian :
Apabila terdapat dalam
perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang jaminan, Bank
terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan
pengadilan. Untuk itu Bank menggugat si A atas dasar wanprestasi. Akan tetapi
sebelum menggugat si A, Bank melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar
si A memenuhi prestasinya. Apabila si A tidak juga memenuhi prestasinya, maka
Bank dapat menggugat si A atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila pengadilan
memutuskan bahwa si A telah wanprestasi, maka Bank dapat melakukan eksekusi
atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.
Jadi, dapat atau
tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada apakah jangka
waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila si A
melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga
merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak
sebagaimana yang diperjanjikan) dan dapat membuat Bank berhak untuk melaksanakan
haknya mengeksekusi barang jaminan.
Bank dapat melakukan eksekusi
terhadap barang yang menjadi agunan melalui Balai Lelang. Dari hasil lelang
tersebut digunakan untuk menutupi kredit macet tersebut dan apabila masih ada
sisa, maka bank harus mengembalikan kepada si A setelah dikeluarkan untuk
seluruh kewajiban hutang dan bunga. Eksekusi dapat melalui pihak Kantor Lelang
Negara atau Pengadilan Negeri. Dalam melakukan eksekusi terhadap barang agunan
milik si A, pihak bank harus memperhatikan hak-hak dan kedudukannya.
Analisis :
Kredit macet mempunyai
dampak negatif bagi kedua belah pihak. Bagi nasabah, dalam hal ini nasabah yang
masih beritikad baik, artinya kredit macet terjadi bukan disengaja, kredit
macet berarti ia harus menanggung beban kewajiban yang cukup berat terhadap
bank. Karena bunga tetap dihitung terus selama kredit belum dilunasi. Mengingat
setiap pinjaman dari bank (konvensional) mengandung bunga, maka jumlah
kewajiban nasabah semakin lama akan semakin bertambah besar. Sedangkan bagi
bank, dampaknya lebih serius karena selain dana yang disalurkan untuk kredit
berasal dari masyarakat, kredit macet juga mengakibatkan bank kekurangan dana
sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Bank yang terganggu kesehatannya,
akan sulit melayani permintaan nasabah, seperti permohonan kredit, penarikan
tebungan, dan deposito. Keadaan yang demikian akan mempengaruhi kepercayaan
masyarakat terhadap bank hingga manjadi berkurang. Bahkan bukannya tidak
mungkin izin usaha bank dicabut pemerintah dan dilikuidasi.
Dalam kasus tersebut diatas, jika
dilihat dari aspek perdata maka nasabah dipandang telah melakukan wanprestasi,
sebab ia tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai mana yang tertuang dalam
perjanjian kredit tersebut. Yaitu membayar angsuran setiap bulannya. Ini
berarti nasabah tersebut telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji.
Meskipun bank selaku kreditur memiliki kedudukan istimewa sebagaimana yang di
uraikan, dan dampak dari kredit macet ini sangat serius terhadap bank yang
bersangkutan. Tetapi dalam hal ini bank tidak dapat melakukan tindakan-tindakan
yang berlebihan apabila menagih kepada nasabah. Karena bisa saja macetnya
kredit tersebut bukan kesengajaan dari nasabah, tetapi karena ada faktor-faktor
lain diluar kehendak dari nasabah yaitu salah satunya karena nasabah terkena
keruguan yang dimana tokonya sepi dari pembeli, sehingga menyebabkan usahanya
macet dan akibatnya ia tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya yaitu membayar
angsuran perbulannya. Selain itu kedudukan nasabah juga mendapat perlindungan
hukum. Oleh karena itu, bank dalam menyikapi kredit macet tersebut harus
memperhatikan hak-hak dan kedudukan nasabah yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Berdasarkan kasus diatas, maka bank sebelum menyepakati suatu perjanjian
kredit harus memiliki keyakinan mengenai kesanggupan, kemampuan, dan kemauan
debitur untuk melunasi utangnya. untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank
harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan, dan prospek usaha debitur, agar kasus kredit macet dapat diminimalisir.
Jadi perbuatan tersebut telah melanggar pasal 8 ayat
(1) dan pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan.
Kesimpulan :
Dari kasus dan uraian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa Untuk menyelesaikan kredit bermasalah atau non-performing loan itu
dapat ditempuh dua cara atau strategi yaitu penyelamatan kredit dan
penyelesaian kredit. Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu
langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank
sebagai kreditor dan nasabah peminjam sebagai debitor, sedangkan penyelesaian
kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga
hukum. Lembaga hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara (DJPLN),
melalui Badan Peradilan, dan melalui Arbitrase atau Badan Alternatif
Penyelesaian sengketa.
Karena dalam kegiatan perkreditan tersangkut beberapa
pihak, yakni kreditur, debitur serta pihak-pihak yang terkait, maka dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan (UUHT) kepentingan para pihak tersebut diperhatikan dan diberikan
keseimbangan dalam perlindungan dan kepastian hukumnya.
Bank sebelum
menyepakati suatu perjanjian kredit harus memiliki keyakinan mengenai
kesanggupan, kemampuan, dan kemauan debitur untuk melunasi utangnya. untuk
memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur, agar kasus
kredit macet dapat di minimalisir.
Sumber :
http://www.hukumonline.com diakses pada
tanggal 17 Mei 2015, Pukul 15.00