NAMA : FINDRA SEFIANA
NIM : 1711143021
PENERAPAN
PARADIGMA HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MELAYANI KEBUTUHAN DENGAN BAHAN KAJIAN UU NO 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UU.
Pasal
10
KPU
dalam penyelenggaraan Pemilihan wajib:
a. Memperlakukan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan
Calon Walikota secara adil dan setara.
Dewasa
ini undang undang yang melindung hak-hak dari pada calon yang ada sering kali
kurang mendapatkan perlakuan yang tidak adil dalam pilkada, sering kali calon
yang berasal dari incumbent selalu mendapatkan prioritas dengan memanfaatkan
fasilitas yang ada ketika menjadi pejabat yang masih aktif untuk memuluskan
jalan menuju ke kursi 1 dimasing-masing daerah, calon yang lain kurang
mendapatkan perlindungan hak apalagi calon yang datang dari kalangan independen.
Sehingga calon yang lahir dari keluarga yang sudah menjejakkan kakinya dilingkungan
birokrasi, sering kali mudah mendapatkan tempat yang istimewa di dalam hukum.
Pasal
86 ayat 1, 2
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai
halangan fisik lain pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh
petugas KPPS atau orang lain atas permintaan Pemilih.
Perlindungan
hak terhadap setiap warga negara dalam
menyalurkan aspirasinya adalah suatu keniscayaan dan sangat mutlak apalagi
terhadap pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai keterbatasan fisik, didalam
pasal 86 ini hak perlindungan terhadap pemilih sangatlah jelas, petugas KPPS di
masing-masing TPS sudah menyiapkan pelayanan publik terkait dengan penerapan
pasal di atas. Dan ternyata sangat memuaskan dan juga mendapatkan apresiasi
yang besar dari masyarakat. Namun perlu diantisipasi dan dikoreksi juga adanya
penyalahgunaan wewenang, dalam hal ini dilakukan oleh panitia penyelenggara
terhadap situasi yang ada, agar dapat mempengaruhi pemilih untuk memilih salah
satu pasangan calon tertentu.
(2) Petugas KPPS atau orang lain yang membantu Pemilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih yang
dibantunya.
Sesuai
dengan peraturan yang ada memang selama ini sudah berjalan dengan sangat baik, dari
panitia penyelenggara maupun masyarakat sudah lahir sinkronisasi agar tercipta
pilkada yang damai, adil dan demokrasi. Akan tetapi keterbukaan ini janganlah
membuat kita terlena dengan batasan hak-hak privasi masyarakat yang harus dilindungi,
sehingga kepercayaan publik terhadap aturan yang ada tetap baik.
Pasal 92 ayat 2, 3, 4
(2) Dalam
memberikan suara, Pemilih diberi kesempatan oleh KPPS berdasarkan prinsip
urutan kehadiran Pemilih.
Antusiasme
masyarakat dalam berpartisipasi mensukseskan demokrasi sangatlah besar, terbukti
dengan kehadiran mereka ke TPS–TPS yang ada. Dengan adanya hal ini sangatlah
perlu pasal 92 ayat 2 ini mengatur pemilih berdasarkan urutan kehadirannya, agar
sirkulasi pemilihan dapat berjalan dengan lancar dan tertib.
(3) Dalam
hal surat suara yang diterima rusak atau terdapat kekeliruan dalam cara
memberikan suara, Pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPS.
Hak
menyalurkan aspirasi rakyat adalah keharusan. Diantaranya jika memang terjadi
kekeliruan ataupun kerusakan maka pemilih harus meminta surat suara yang
baru, begitu juga panitia penyelenggara harus mempersiapkan surat suara
cadangan yang memang sangat diperlukan.
(4)
KPPS
memberikan surat suara pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya 1
(satu) kali.
Dalam
pasal ini disebutkan bahwa surat suara yang rusak akan diganti dengan
surat suara pengganti yang hanya dapat
digunakan 1 kali. Semua sudah terantisipasi dengan peraturan diatas. Dengan
menunjukkan surat suara rusak pemilih berhak mendapatkan surat suara pengganti.
(5) Penanganan
ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPS dilaksanakan oleh 2 (dua)
orang petugas yang ditetapkan oleh PPS.
Keamanan dan ketenangan dalam menyalurkan aspirasi
sangat diperlukan, oleh sebab itu panitia penyelenggara sudah menyiapkan 2 orang
LINMAS yang akan menjalankan tugasnya untuk menjaga situasi di TPS agar tetap
kondusif.
(6) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh PPL dan Pengawas TPS.
Semua kegiatan yang terlaksana oleh
masing-masing TPS akan dimonitor oleh PPL (Panitia Pengawas Lapangan) dari
kecamatan setempat, agar pelaksanakan pemungutan suara tetap dalam agenda dan
koridor yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Apabila
terjadi kesalahan dalam proses pemungutan suara PPL dapat melaporkan langsung
ke PANWASLU, hasil penghitungan suara bisa dilaporkan langsung dengan cara
mengunggah hasilnya melalui handphone ke situs resmi dari KPU.
PENERAPAN HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK
MELAKUKAN REKAYASA SOSIAL DENGAN BAHAN KAJIAN UU NO 1 TAHUN 2015 TENTANG
PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UU.
Pasal
3 ayat 1, 2
(1) Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali
secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemilihan
kepala daerah secara serentak yang sudah diatur di dalam Pasal 3 ayat 1 UU
nomor 1 tahun 2015 ini akan menjadi tolak ukur seberapa jauh penerapan
demokrasi di Indonesia saat ini. Setiap 5 tahun sekali masyarakat indonesia
akan diberikan hak untuk menyatakan pendapat melalui pemilihan Kepala Daerah,
Wakil Rakyat ataupun Presiden.
(2) Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota
yang dapat mengikuti Pemilihan harus mengikuti proses Uji Publik.
Sebagai tahapan
pencalonan, uji publik wajib diikuti oleh setiap warga negara Indonesia yang
mendaftar sebagai bakal calon Gubernur, Walikota, dan Bupati baik dari
perseorangan maupun yang akan diusung oleh partai politik. Uji publik sendiri
diselenggarakan oleh panitia uji publik yang terdiri dari akademisi, tokoh
masyarakat, dan KPU. kehadiran uji publik dilakukan agar terlepas dari adanya
persoalan meningkatnya jumlah kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
Sehingga, uji publik hadir sebagai salah satu cara untuk meminimalisasi
kehadiran perilaku menyimpang dari kepala daerah dengan cara mengukur
kompetensi dan integritas bakal calon kepala daerah sebelum dicalonkan sebagai
kepala daerah oleh partai politik maupun perseorangan untuk dipublikasikan
kepada pemilih. Dan juga untuk mengukur seberapa
layak / pantas para kandidat untuk memangku amanah dari rakyatnya.
Pasal
73 ayat 1
(1) Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan
dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih.
Pasal
73 ini memang sangat riskan sekali penerapanya, dikalangan masyarakat sudah
tidak dipungkiri lagi penggunaan politik uang ( money politic ) dari masing
pasangan calon. Masyarakat secara umum lebih antusias terhadap pasangan calon
yang memang secara materi lebih menguntungkan, akan tetapi tidak sedikit pula
dari mereka yang hanya semata-mata meraup keuntungan dari situasi tersebut.
Politik uang dewasa ini berubah fungsinya menjadi “uang lelah” dari masyarakat
yang telah berpartisipasi mensukseskan pilkada. Akan tetapi kita tetap
mengharapkan demokrasi di indonesia tanpa adanya politik uang, atau apapun itu
namanya. Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dan tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dikenai sanksi pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 102
(1) Rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara di PPS dituangkan ke dalam berita acara
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara calon Peserta Pemilihan dengan menggunakan
format yang diatur dalam Peraturan KPU.
Setelah melalui beberapa proses pemilihan suara, petugas melakukan
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara calon peserta Pemilihan. hasil
akhir akan dihitung dan direkapitulasi. Rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara dilakukan dengan membuka kotak suara tersegel untuk mengambil
sampul yang berisi berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil
penghitungan perolehan suara. Hasil rekapitulasi penghitungan suara akan di
catat kedalam berita acara dengan format yang diatur dalam peraturan KPU.
(2) Berita
acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara calon peserta Pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota PPS dan
saksi calon yang hadir yang bersedia menandatangani.
Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Petugas membuat
berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang
ditandatangani oleh ketua dan paling sedikit 2 (dua) orang anggota petugas
serta saksi calon yang hadir yang bersedia menandatangani. Petugas wajib
memberikan 1 salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara kepada para Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota
atau saksi calon dan Panwas Kecamatan yang ditunjuk serta menempelkan 1 (satu) eksemplar
sertifikat hasil penghitungan suara pada papan pengumuman di PPK selama 7 (
tujuh) hari.
KETENTUAN-KETENTUAN YANG DIANGGAP TIDAK RELEVAN DAN DIUSULKAN UNTUK
DIUBAH DENGAN BAHAN KAJIAN UU NO 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR,
BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UU.
Pasal
86 ayat 1
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai
halangan fisik lain pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh
petugas KPPS atau orang lain atas permintaan Pemilih.
Menurut saya pernyataan pasal diatas kurang relevan,
karena pada dasarnya seseorang yang mempunyai halangan fisik akan merasa keberatan
jika harus datang ke TPS. Seharusnya petugas KPPS lah yang harus mendatangi
pemilih yang mempunyai halangan fisik tersebut. Agar tidak membahayakan kesehatan
pemilih saat berada di TPS.