MAKALAH
“SEJARAH PERBANKAN DI INDONESIA”
Diajukan
untuk memenuhi tugas kuliah
Hukum Perbankan di Indonesia
Dosen Pengampu :
Zulfatun Nikmah, M. Hum.
Disusun oleh :
FINDRA SEFIANA (NIM : 1711143021)
HES IV - A
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
PROGRAM STUDI S1 HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
Jln. Mayor Sujadi Timur No. 46 Telp. (0355) 321513
Tulungagung
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat
penyusunan revisi makalah dengan judul “Sejarah Perbankan Di Indonesia”
Sholawat dan salam senatiasa kami sampaikan kepada
junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya
kelak di yaumul qiyamah.
Ungkapan rasa terima kasih tidak lupa kami sampaikan kepada semua yang
telah memberikan dukungan serta arahan atas terselesainya makalah ini kepada :
- Dr. Mafthukin, M.Ag. Selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah memberikan fasilitas yang sebaik baiknya bagi penulis.
- Zulfatun Nikmah, M. Hum., selaku dosen mata kuliah Hukum Perbankan di Indonesia.
-
Teman-teman Mahasiswa Progam Sarjana khususnya Prodi Hukum Ekonomi Syariah.
Terkait dengan referensi dan penulisan makalah ini, saya sadar bahwa masih banyak
kekurangannya. Oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan guna penulisan makalah yang lebih
baik lagi di masa yang akan datang.
Kiranya cukup sekian semoga
makalah ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Tulungagung, 17 April 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari
zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu bank di Indonesia bernama De
javasche Bank NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian
menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918
sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke
luar negeri serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di
Hindia Belanda.
Bank pada saat ini diartikan sebagai sebuah lembaga
intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima
simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal
sebagai banknote. Kata bank berasal dari bahasa Italia banca berarti tempat
penukaran uang. Sedangkan menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan
bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Industri perbankan telah mengalami perubahan besar
dalam beberapa tahun terakhir. Industri ini menjadi lebih kompetitif karena
deregulasi peraturan. Saat ini, bank memiliki fleksibilitas pada layanan yang
mereka tawarkan, lokasi tempat mereka beroperasi, dan tarif yang mereka bayar
untuk simpanan deposan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Perbankan Pada Zaman Penjajahan Belanda ?
2.
Bagaimana Sejarah Perbankan Pada Zaman Penjajahan Jepang ?
3.
Bagaimana Sejarah Perbankan Pada Zaman Indonesia Merdeka ?
4.
Bagaimana Sejarah Perbankan Pada Zaman Awal Kemerdekaan ?
5.
Bagaimana Sejarah Perbankan Pada Zaman Pemerintahan Orde Lama ?
6.
Bagaimana Sejarah Perbankan Pada Zaman Pemerintahan Orde Baru ?
7.
Bagaimana Sejarah Perbankan Pada Zaman Reformasi (1998-Sekarang)?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk Mengetahui Sejarah Perbankan Pada Zaman Penjajahan Belanda
2.
Untuk Mengetahui Sejarah Perbankan Pada
Zaman Penjajahan Jepang
3.
Untuk Mengetahui Sejarah Perbankan Pada
Zaman Indonesia Merdeka
4.
Untuk Mengetahui Sejarah Perbankan Pada
Zaman Awal Kemerdekaan
5.
Untuk Mengetahui Sejarah Perbankan Pada
Zaman Pemerintahan Orde Lama
6.
Untuk Mengetahui Sejarah Perbankan Pada
Zaman Pemerintahan Orde Baru
7.
Untuk Mengetahui Sejarah Perbankan Pada
Zaman Reformasi
(1998-Sekarang)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PERBANKAN PADA ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
Awal sejarah perbankan di tanah air tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan digantikannya kekuasaan VOC oleh Pemerintah Belanda pada 1 Januari
1800. VOC membawa serta perangkat sistem keuangan dan pembayaran dalam usaha
perdagang dan mencari keuntungan di bumi Nusantara, selanjutnya merekan
menjurus ke arah penjajahan suatu bangsa dengan berbagai variasi pelaksanaan
kebijakan di bidang politik untuk mendukung tujuan ekonomi-perdagangannya.
Perusahaan pertama yang menjalankan fungsi sebagai bank di Indonesia yaitu De
Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) yang secara resmi adalah perusahaan
dagang.
Dengan bentuk pemerintahan resmi setelah Pemerintahan Raffles,
Pemerintah Hindia Belanda ingin mencapai tujuan ekonomis dan politis lebih
besar dan lebih mapan. Untuk memperbaiki keadaan keuangan sebagai warisan VOC
dan Pemerintahan Raffles, Pemerintah Hindia Belanda memerlukan kehadiran
lembaga bank.
Pada 10 Oktober 1827 berdirilah De Javasche Bank yang
berkedudukan di Jakarta. Adapun modal pertamanya sebesar satu juta gulden
tercantum dalam Besluit Nomor 25 tertanggal 24 Januari 1828. Modal
tersebut berasal dari setoran pemerintah Hindia Beland dan De Nederlandsche
Handel Maatschappij (NHM). Meskipun bukan bank milik pemerintah, akan
tetapi direksinya diangkat oleh dan dengan persetujuan dari Pemerintah Hindia
Belanda. Oleh karena itu suara pemerintah tetap efektif terhadap kebijakan De
JavascheBank dan menetapkan De Javasche Bank sebagai lembaga semi pemerintah.
Setelah berdiri De Javasche Bank memperoleh hak istimewa
(octrooi) mengeluarkan uang kertas bank. Pada tahun 1891, De Javasche Bank
untuk mendapatkan hak untuk memperdagangkan valuta asing dan mejalankan usaha
sebagai bank umum dimana hal ini lebih menonjol dibandingkan dengan fungsinya
sebagai bank of issue. Dari fungsinya seperti itu, maka bank tersebut
merupakan bankir bagi pemerintah Hidia Belanda meskipun elum menjadi bank
sentral penuh karena hanya menjalankan beberapa tugas yang biasa dilakukan oleh
ank sentral, diantaranya, mengelurkan dan mengedarkan uang kertas, mendiskonto
wesel, surat utang jangka pendek, dn obligasi negara, menjadi kasir pemerintah,
menyimpan dan menguasai dana-dana devisa dan bertindak sebagai puat kliring
sejak tahun 1909. Meskipun menjalankan tugasnya sebagai bank sirkulasi, tugas
seagai bank umum pun tetap dijalaninya sehingga turut bersaing dengan bank-bank
lain. Sifat dualistis ini kerap kali menimbulkan berbagai kritik, dengan
mengemukakan alasan-alasannya, antara lain :
1.
Dengan
bunga yang lebih rendah daripada bank-bank lain, maka De Javasche Bank dapat
dengan mudah menarik nasabah yang terbaik.
2.
Persaingan
oleh suatu badan (De Javasche Bank) yang karena tugasnya dapat memiliki
data bank-bank lain sehingga dianggap tidak wajar.
Modal pertanian yang menghasilkan perdagangan internasional berupa
ekspor hasil-hasil pertanian itulah mengapa bank-bank yang timbul bukan bank
indusri, bukan bank pembangunan, malinkan bank-bank pertanian dan bank-bank
umum. Bank-bank tersebut kebanyakan berpusat di Belanda, sedangkan di Indonesia
hanya kantor cabang. Sekitar tahun 1857 berdiri pula sebuah bank swasta yang di
kenal dengan NV Escompto Bank, yang bergerak di bidang usaha bank umum,
yang setelah dinasionalilsasi oleh pemerintah maka sekarang dikenal sebagai
Bank Dagang Negara (BDN).
Tumbuhnya dunia perbankan memberikan pengaruh berup suatu kondisi
masyarakat yang lebih baik dan sejak itu mulai dapat dikatakan bahwa hampir
seluruh orang dipedalaman Pulau Jawa telah mengenal uang sebagai alat
pembayaran, baik untuk membayar pajak maupun untuk transaksi jual beli dan
lain-lainnya sehingga mereka sudah memasuki zaman “geldwirtschaft”. Perkembangan
selanjutnya maka mulai tumbuh adanya kebutuhan suatu bentuk perkreditan yang
terorganisasikan dalam suatu lembaga. Melihat kebutuhan tersebut, maka
dibentuklah bank yang khusus dapat melayani penduduk golongan pribumi, yaitu
Bank Priyayi (De Poerwokertosche Hulpen Spaarbank der Indlandsche Hoofden,
artinya bank penolong dan tabungan bagi priyayi Purwokerto. Bank ini didirikan
pada tanggal 16 Desember 1895 oleh Patih Raden Wiraatmadja, sedangkan
modalnya berasal dari kas masjid. Adanya pendapat kontradiksi mengenai bunga
yang ditarik dalam perkreditan bank, maka memengaruhi bentuk badan hukum ank
tersebut. Atas saran Asisten Residen de Wolff van Westerrode, maka
bentuk organisasi yang cocok bagi bank yang melayani masyarakat pedesaan adalah
koperasi. Di Purwokerto pula pada tahun 1896 didirikan Poerwokertosche Hulp,
Spaar en Landbouwcredietbank.
Pemerintah Hindia Belanda juga memperhatikan kepentingan bangsa
Indonesia akan lembaga perkreditan. Untuk itu didirikanlah Bank Tabungan Pos
(Postspaarbank) berdasarkan Stb. Nomor 296 Tahun 1897, Centrale Kas pada tahun
1912, sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (2)-nya ank tersebut berkedudukan di
Jakarta. Dasar hukum pendirian Bank Tabungan Pos ini mengalami perubahan pada
tahun 1934 memalui Postpaarbank Ordonantie Stbl. 1934-653 dan
selanjutnya diuah berdasarkan Stbl. 1937-176 dan 197 serta Stbl. 1941-295.
Pada awal abad ke-20 berdirilah bank-bank kabupaten (afdelingsbanken).
Disebut bank kabupaten karena ruang gerknya menyangkut suatu daerah atau
kabupaten. Bank ini diprakarsai oleh pamong praja berdasarkan kewajiban
patriakal pemerintah kabupaten atas penduduknya. Bupati adalah ketua pengurus
bank kabupaten tersebut dan anggota pengurus lainnya terdiri atas
pegawai-pegawai pamongpraja dan orang yang ikut merasakan nasib rakyat. Modal
kerja bank diperoleh dari kelebihan uang lumbung desa, bank desa, dan deposito
dari pihak swasta, tetapi pemerintah juga memberikan modal kerja. Keberadaan
lembaga tersebut diperuntukkan guna melayani rakyat yang membutuhkan pinjaman.
Pada mulanya lembaga ini merupakan suatu Jawatan Perkreditan Rakyat, yaitu
bentuk turut campur pemerintah Hindia Belanda yang lebih dalam mengenai masalah
perkreditan rakyat, untuk mengarahkan perkreditan rakyat yang lebih sehat.
Selain itu, didirikan juga kas sentral (centrale kas). Pendiriannya
didsarkan pada Koninklijk Besluit tentang Instelling VAN EENE
Centrale Kas voor het Volkscrediet wezen dengan modal dasar 5 juta gulden.
Lembaga Kas Sentral ini selanjutnya bertugas memberikan modal kerja pada
lembaga perkreditan rakyat dan memberikan nasihat serta bimbingan dalam
usaha-usaha perkreditan rakyat. Ank kabupaten pun untuk sebagian modalnya dpat
memperoleh kredit dari kas sentral. Dengan cara ini terbentuk suatu integrasi
perkreditan rakyat.
Krisis ekonomi dunia yang hebat pada periode 1929-193 mengakibatkan
beberapa volksbank menjadi macet, maka pada tahun 1934 di Jakarta
berdasarkan Ordonansi Nomor 82 tanggal 19 Februari 1934 didirikanlah suatu bank
yang dikenal dengan De Algemeene Volkscrediet Bank (AVB) yang berbadan
hukum Eropa. Modal pertama AVB diperoleh dari modal kas sentral dan bank
kabupaten yang berjumlah 21,4 juta gulden. Tugas utamanya adalah menjalankan
perkreditan rakyat, terutama memberikan kredit kepada perseorangan, perusahaan
kecil, dan pedagang kecil yang tidak dapat memperoleh kredit dari bank-ank
lain. Selain itu, AVB pun memberikan jasa penyimpanan uang, pemerin nasihat dan
bantuan, serta pengawasan kepada bank-bank kredit desa, koperasi dan juga
melakukan tugas sebagai kasir untuk keperluan calon jamaah haji ke Makkah. Bank
ini pada zaman penjajahan Jepang berdasarkan Osamu Serei Nomor 8 Tahun 260
(Tahun Jepang) diganti namanya menjadi Syumin Ginko dan selanjutnya berdaarkan
peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 yang ditetapkan di
Yogyakarta tanggal 22 Februari 1946 diubah lagi namanya menjadi Bank Rakyat
Indonesia.
Dunia perbankan pada zaman penjajahan Belanda selain diramaikan
oleh bank seperti yang diuraikan diatas, juga berkemang bank-bank lainnya. Ada
yang bermodal nasional dan yang bermodal asing, seperti dari Belanda, Inggris,
Jepang, dan Cina. Diantara bank tersebut yang terkenal misalnya yang bermodal
nasional adalah Bank Nasional Indonesia erkantor di Surabaya, ank Nasional di
Bukittinggi. Sedangkan Bank Asing misalnya Nederland Handels Maatschap pij (NHM)
yang didirikan pada tahun 1924. Kondisi perbankan yang demikian maju ini,
terutama dengan beroperasinya bank-bank asing, diebabkan pemerintah Hindia
Belanda melakukan “politik pintu terbuka” yaitu sesudah hapunya “Cultuurstelsels”
(sistem tanam paksa).
De Javasche Bank pada
zaman Belanda merupakan bank yang bertindak sebagai bank sentral dan pada zaman
penjajahan Jepang bank tersebut dikuasai oleh pemerintah tentara Jepang.
Setelah merdeka, bank tersebut dikuasai oleh pemerintah tentara Jepang. Setelah
merdeka, ank terebut kemudian beroperasi lagi bahkan selama beberapa tahun
berfungsi lagi sebagai bank sentral meskipun berkedudukan sebagai adan usaha
swasta dan sebagian sahamnya ada ditangan asing. Mengingat hal-hal demikian
maka dilakukan nasionalilsasi De Javasche Bank berdasarkan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1951 tentang nasionalisasi De Javasche Bank, undang-undang
tersebut disahkan tanggal 6 Desember 1951.
B.
PERBANKAN PADA ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG
Selama pendudukan Jepang (1942-1945), semua bank asing termasuk De
Javasche Bank dikuasai oleh pemerintahan tentara Jepang. Tidak ada putra
Indonesia yang diikutsertakan, hanya 1 bank yang beroperasi oleh putra
Indonesia, yaitu Bank Rakyat Indonesia yang nama Jepangnya Syumin Ginko.
Tidak banyak diketahui tentang
kegiatan perbankan. Pemerintah Jepang sama sekali tidak membawa pengaruh
positif bagi perkembangan perbankan. Sebaliknya, hampir semua bank terpaksa
menutup usahanya. Bank yang tetap melanjutkan usahanya adalah Algemeene
Volkscredietbank (AVB) yang kemudian diubah menjadi Syumin Ginko
berdasarkan Osamu Seirei Nomor 8.
Fungsi dari Syumin Ginko ini masih sama seperti AVB semula,
yaitu memberikan bantuan keuangan dan mengawasi bank-bank desa dan lumbung
desa. Bahkan Syumin Ginko mengharuskan untuk menghimpun simpanan dari
bank desa dan lumbung desa untuk ditransfer ke Yokohama Specie Bank.
C.
PERBANKAN PADA ZAMAN INDONESIA MERDEKA
1.
Perbankan Pada Zaman Awal Kemerdekaan
Periode awal kemerdekaan di Indonesia, yaitu mulai dari saat
proklamasi sampai terbentuknya ank sentral yang didirikan sebagai kelanjutan De
Javasche Bank melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-Pokok
Bank Indonesia sehingga periode awal, yaitu mulai tahun 1945-1953. Bank
Indonesian memberikan semangat untuk perubahan dalam kehidupan pebankan. Dan
diharapkan menjadi sarana untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita dari
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitui Indonesia. Pada permulan zaman
kemerdekaan ini, pemerintah sangat memberikan perhatian yang besar terhadap
dunia perbankan. Banyak langkah dan keijakan pemerintah yang diarahkan untuk
memberikan dorongan terhadap kemajuan dunia perbankan di Indonesia saat itu.
Langkah dan kebijakan pertama yang berkaitan dengan perbankan, yaitu pembentukan
ank baru seagai alat perjuangan dan dimaksudkan untuk ebagai bank sentral,
yaitu Bank Negara Indonesia.
Setahun setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1946 yang ditetapkan pada
tanggal 5 Juli 1946 yang menegaskan lahirnya Bank Nasional Indonesia (BNI) dan
lebih dikenal dengan BNI 1946 , yang peresmiannya dilakukan pada 17 Agustus
1946. Tugas BNI sebagaimana tercantum dalam peraturanya adalah mengeluarkan dan
mengedarkan uang kertas bank disamping pemegang uang kas Negara.
Pada awal kegiatan usahanya kemudian BNI mengadakan kerjasama
dengan beberapa bank lainnya, diantaranya Bank Soerakarta, Bank Dagang Nasional
Indonesia. Khusus untuk kredit perniagaan, BNI pada bulan Februari 1947 membantu
terbentunkya “Banking & Trading Corporation” (BTC) di Jawa, juga
mendirikan beberapa perusahaan di beberapa kota di pulau Sumatra.
Selain BNI 1946, bank lain yang juga milik negara pada saat awal
kemerdekaan adalah Bank Rakyat Indonesia. BRI tersebut merupakan hail perubahan
dari Algemeene Voklscrediet Bank (Syumin Ginko), perubahannya didasarkan
pada peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 1946 yang ditetapkan di Yogyakarta pada
tanggal 22 Februari 1946. Menurut ketentuan pasal 3 PP Nomor 1 Tahun 1946 tersebut
lahan usaha BRI meliputi memberikan pinjaman kepada rakyat, menerima uang
simpanan, menjalankan tugas-tugas bank umum. Karena BRI mempunyai otonomi dalam
menyelenggarakan usahanya. Mengingat tugasnya tersebut oleh pemerintah BRI lah
yang diarahkan sebagai bank yang langung berhubungan dengan rakyat.
Perbankan pada awal kemerdekaan ini selain didorong oleh bank-bank
negara, juga mulai ditunjang oleh beberapa Bank nasional milik swasta, antara
lain Bank Soerakarta MAI di Solo yang didirikan pada Tahun 1945, Bank Indonesia
di Palembng pada tahun 1946, Indonesia Banking Corporation yang kemudian
bernama Bank Amerta di Yogyakarta pada tahun 1947. Periode ini diwarnai pula
oleh beberapa peristiwa politik yang secara otomatis juga memengaruhi kebijakan
moneter pemerintah, dan juga ditunjang dengan adanya kewajian menyimpan uang di
bank berdasarkan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1946.
Pelanggaran terhadap kewajiban penyimpanan uang ini dapat dikenakan
sanksi berupa hukuman penjara maksimal 3 tahun serta uangnya di rampas untuk
negara (Pasal ayat (1) jo. Ayat (5) Perpu Nomor 3 Tahun 1946). Kebijakan yang
cukup berpengruh dalam perkembangan perbankan pada awal kemerdekaan ini, yaitu
nasionalisasi De Javasche Bank. De Javasche Bank setelah Indonesia
merdeka beroperasi kembali, bahkan selama beberapa tahun berfungsi lagi sebgai
ank sentral meskipun berkedudukan sebagai badan usaha swasta dan sebagian
sahamnya ada ditangan asing.
Pada tahun 1953 dengan pertimbangan guna lebih memberikan kemudahan
menjalankan kebijakan moneter dan kebijakan perekonomian maka ditetapkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953. Hal tersebut dilakukan mengingat De
Javasche Bank meskipun telah dinasionalisasikan, kedudukannya masih
berbadan hukum sebagai perseroan terbatas. Jadi, masih belum leluasa dalam
menerapkan kebijakan moneternya.
2.
Perbankan Pada Zaman Pemerintahan Orde Lama
Periode perkembangan perbankan pada zaman Orde Lama bertitik tolak
dari mulainya penetapan bank sentral pada tahun 1953. Dengan demikian, tidak
bertitik tolak secara ketat mengikuti periode perkembangan pemerintahan yang
sebenarnya erdasarkan politik dan ketatanegaraan.
Perkembangan perbankan pada
zaman orde lama begitu kalut, sesuai dengan kekalutan perekonomian saat itu. Ekspansi
kredit perbankaan yang didukung pencetakan uang kertas baru oleh Bank indonesia
telah menciptakan inflasi yang sangat tinggi dengan segala akibat buruknya
perekonomian nasional. Di lembaga moneter sendiri terjadi banyak manipulasi
seperti kredit-kredit dengan katabelece. Semua kekalutan perbankan ini terjadi juga
karena sifat dualisme bank sentral pada saat itu, yaitu sebagai bank sentral
juga merangkap sebagai bank komersial
atau bank umum. bank Indonesia giat pula memberikan perkreditan
komersial berupa pemberian kredit langsung.
Pada zaman ini sudah terlihat adanya kebiasaan melalaikan
Undang-Undang. Contohnya kasus pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang
Pokok-Pokok Bank Indonesia. Dalam pasal 36 ayat (2) disebutkan bahwa :
“Segala ketentuan dalam pasal 13 yang mengenai pekerjaan-pekerjaan
bank di lapangan lain daripada fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi,
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya diserahkan kepada bank-bank lain yang
akan ditunjuk dengan undang-undang selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember
1953.”
Ternyata ketentuan tersebut hampir 15 tahun tidak pernah
dilaksanakan. Padahal, ketentuan tersebut menyangkut soal prinsip yang penting,
yaitu menghapuskan sifat dualisme pada bank sentral. Sifat dualisme bank
sentral pda zaman orde lama ini adalah warisan dari De Javasche Bank yang
didirikan pada tahun 1827 sebagai pelengkap Cultuurstelsels Van Den
Bos. Pada pertengahan abad yang lalu De Javasche Bank diberi octrooi
(monopoli) untuk mengeluarkan uang bank dan sejak itu bank tersebut
terkenal sebagai “Bank sirkulasi atau bank of issue”. Pada zaman
penjajahan Jepang bank tersebut dikuasai oleh tentara Jepang. Namun, setelah
merdeka bank tersebut kemudian beroprasi lagi bahkan selama beberapa tahun
berfungsi lagi sebagai bank sentral sebelum dinasionalisasikan.
Tahun 1958 ketika dilancarkan aksi merebut Irian Barat dari Belanda
atau dikenal dengan Tri Komando Rakyat (Trikora), maka dalam bidang perbankan
pun dilakukan tindakan-tindakan untuk memperlancar aki tersebut, yaitu dengan
menasionalisasi bank-bank Belanda. Dengan pengambilalihan itu, maka bank-bank
negara banyak yang mengerjakan tugas
yang sama, yaitu sebagai bank umum. Hal ini tentu tidaklah menjadikan bank
sebagai alat perkreditan yang efisien, bahkan seringkali diantara bank-bank
negara itu timbul persaingan yang tidak sehat. Dengan penetapan Presiden Nomor
8,9,10,11,12,13 dan 17 Tahun 1965 diputuskanlah semua bank negara yang bersifat
umum diintegrasikan menjadi 1 bank tunggal yang bernama Bank Negara Indonesia
(BNI).
Pada periode orde lama ini pula lahir bentuk Bank Pembangunan
Daerah (BPD). BPD pada hakikatnya adalah suatu lembaga keuangan milik
pemerintah daerah (Pemda) yang melakukan usaha perbankan. Semula BPD didirikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962, yaitu ketentuan pokok
pemerintahan daerah.
Bank swasta pada periode ini jumlahnya cukup banyak yang umumnya
merupakan bank-bank kecil. Peranan mereka sangat kecil dan mereka mengalami
kesulitan bidang permodalan, keterampilan, manajement, dan organisasinya.
Kecilnya skala usaha bank swasta pada periode ini ikut menyebabkan operasi
mereka tidak efisien. Dibalik itu ada juga beberapa bank swasta yang cukup
mapan, di antaranya, Bank Central Asia (BCA). Puncaknya terjadi pada waktu
perjuangan pembebasan Irian Barat, yang disertai dengan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing terutama milik Belanda. Perjalanan perbankan asing
mulai berubah kondisi pada akhir tahun 1960 an, esuai dengan kebijakan politik
dan ekonomi pemerintah orde baru.
3.
Perbankan Pada Zaman Pemerintahan Orde Baru
Dengan tenggelamnya orde lama, kehidupan perbankan kita memasuki
babak baru bersama naiknya kebijakan pemerintah orde baru. Pemerintah orde baru
ingin konsisten menerapkan sistem anggaran berimbang dan lalu lintas devisa
bebas. Langkah selanjutnya untuk perbaiki perbankan pada pemerintah orde baru
ini dimulai dengan memperkuat perundang-undangan yang mengatur perbankan, baik
berupa penggantian maupun membuat undang-undang yang baru, misalnya, membuat
peraturan yang baru berupa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan. Sedangkan yang berupa penggantian peraturan yang lama,
yaitu berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral guna
mengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tetang Pokok-Pokok Bank Indonesia.
Perbaikan kelembagaan perrbankan dengan memperkuat landasan
hukumnya adalah uatu pilar agi terselenggaranya pembina dan pengawasan yang
mendukung peningkatan kemmpuan perbankan dlam menjalankan fungsinya secara
sehat, wajar, efisien, skekaligus memungkinkan perbankan Indonesia melakukan
penyesuaian yang diperlukan sejalan dengan berkemangnya norma-norma perbankan
internasional.
Perkembangan dalam masa orde baru ini secara gari besarnya dapat dibagi
dalam 3 tahap utama, yaitu :
1.
Tahap
Stabilisasi dan Rehabilitasi (1966-1969)
2.
Tahap
Pembangunan (1970-1982)
3.
Periode
Deregulasi (1983-1991)
4.
Periode
awal reformasi (1992-1998).
4.
Perbankan Pada Zaman Reformasi (1998-...)
Periode ini disebut periode reformasi bertitik tolak dari
lengsernya Presiden Soeharto dan dilimpahkannya kekuasaan pemerintahan
kepada B.J Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Melalui kabinet reformasi,
Presiden B.J Habibie bertekad memperbaiki perekonomian dan perbankan
secara benar dengan panduan dari IMF (adanya letter of intent antara
pemerintah Republik Indonesia dengan IMF guna memperbaiki krisis moneter /
ekonomi di Indonesia).
Langkah perbaikan di bidang perbankan yang menjadi prioritas adalah
perubahan landasan hukum yang dipakai dalam program penyehatan perbankan
nasional tersebut. Hal tersebut guna untuk memperlancar perbaikan kinerja
perbankan nasional ini secara tata hukum kurang tepat apabila hanya diatur
dalam bentuk keputusan presiden saja. Oleh karena itu, selanjutnya juga
diusahakan perbaikan di bidang perundang-undangan induknya, yaitu Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968
tentang Bank Sentral.
Perkembangan perbankan dalam reformasi ini terlihat dari
langkah-langkah yang tertuju pada penyehatan perbankan dan penguatan landasan
hukum perbankan. Tonggak langkah pemerintah dalam penyehatan perbankan,
terlihat pada upaya :
a)
Penguatan
landasan hukum perbankan
Program dan landasan penguatan hukum perbankan nasional telah
berhasil menyelesaikan perbaikan dan perubahan peraturan di bidang perbankan,
yaitu dengan disahkannya oleh Presiden B.J Habibie pada tanggal 10
November 1998. Yakni UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesiapada tanggal 17 Mei 1999 sekaligus disahkan
pula UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Linta Devisa dan Sistem Nilai Tukar
sebagai pengganti UU Nomor 23 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa.
Dengan disahkannya UU tersebut di bidang perbankan banyak perubahan yang
mendasar. Badan Penyehatan Perbankan Nasional ditingkatkan dasar pendiriannya
dengan landasan peraturan pemerintah sesuai dengan amanat UU.
Dengan penggantian UU tersebut membawa banyak sekali perubahan,
diantaranya :
· Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk menetapkan sasaran
moneter dan melakukan pengendalian moneter.
· Bank Indonesia dengan status otoritas moneter yang independen, saat
ini tidak lagi memberikan kredit program.
· Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam
kegiatannya dapat mengkomodasi prinsip-prinsip syariah.
· Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan
bank berwenang untuk mengatur dan memberikan perizinan serta mengenakan sanksi.
· Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen berada di
luar pemerintahan, mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak
lainnya, tetapi wajib memenuhi prinsip akuntabilitas publik sehingga wajib
menyampaikan rencana kebijakannya kepada presiden dan DPR.
· Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat
utang negara, kecuali dipasar sekunder, juga dilarang memberikan kredit kepada
pemerintah.
Dari beberapa pembaharuan tersebut terdapat konsekuensi Bnk
Indonesia yaitu dituntut untuk terbuak bagi pengawasan oleh masyarakat dn jug
wajib memenuhi prinsip akuntabilitas publik dalam menetapkan kebijakannya.
b)
Penyehatan
perbankan
Dengan adanya krisis ekonomi ternyta pula memberikan dampak yang
besar pada perbankan swasta nasional. Besarnya dampak krisis ekonomi disebabkan
sebagian besar bank umum yang ada masih lemah di dalam permodalannya. Melihat
kondisi tersebut, pemerintah menjalankan program rekapitulasi bank umum dengan
dasar Peraturan Pemerinthn Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program Rekapitulasi
Bank Umum.
Program penyehatan perbankan nasional dilakukan dengan dibentuknya
lembaga khusus selain dilakukan upaya-upaya lainnya. Salah satu upaya
menyehatkan perbankan nasional pemerintah pun mencoba mengadakn merger atas bank-bank
negara. Usaha terseut guna menjadikan bank yang dimiliki negara menjadi bank
yang kuat dan solid. Berdsarkan alasan seperti itu maka ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 1998 tentang Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia untuk Pendirian Persero (Persero) di Bidang Perbankan. Melalui
peraturannya maka didirikanlah Bank Mandiri yang pada intinya merupakan
peleburan dari 4 bank milik negara, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara,
Bank Eksim, dan Bank Pembangunan Indonesia. Badan khusu ini didiriakan dengan
maksud ebagai salah satu upaya dalam rangka penyehatan perbankan nasional yang
terpuruk karena tidak ditaatinya prinsip kehati-hatian. Lembaga khusus ini
diakomodasi damendapat porsi pengaturannya secara proposional.
Dengan demikian BPPN diakui keberadaannya dan sekaligus dapat
melakukan tugasnya berdsarkan UU Nomor 10 Tahun 1998. BPPN melakukan tugas dan
wewenangnya mengacu pada ketentuan Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998. Dan
peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 yang
sebagaimana diamanatkan dari ketentuan Pasal 37A ayat (9). Peraturan tersebut
antara lain, memuat ketentuan mengenai :
· Anggaran dan Pengeluaran
· Tata cara penagihan piutang bank dalam penyehatan
· Tata cara penyertaan modal untuk sementara
· Pendirian dn pembubarannya
· Tata cara dan program penyehatan perbankan nasional.
Dalam
menjalankan tugasnya BPPN dapat menunjuk, menguasakan, atau menugaskan kepada
pihak ketiga (akuntan publik, konsultan hukum, prrusahaan penilai, dan pejabat
lelang). Sedangkan guna memperlancar pelaksanaan dari semua tugasnya serta
meningkatkan transparasi, maka BPPN dberikan kewenangan untuk memberikan
lembaga penasihat dan pengawas, yaitu Komite Penilaian Independen sebagai
penasihat dan Komite Kebijakan Sektor Keuangan sebagai pengawas.
Dalam
melaksanakan tugasnya BPPN mempunyai wewenang sesuai Pasal 37A UU Nomor 10
Tahun 1999, yaitu :
· Mengambil alih dan menjalankan segala hal dan wewenang pemegang
saham termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham.
· Mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang direksi dan
komisaris bank.
· Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas
kekayaan milik atau yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan ank yang berada
pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri.
· Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri dan mengubah kontrak yang
mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan BPPN merugikan
bank.
· Menjual dan mengalihkan kekayaan bank, direksi, komisaris dan
pemegang saham tertentu, di dalam negeri maupun di luar negeri, baik secara
langsung maupun melalui penawaran umum.
· Menjaul atau mengalihkan tagihan bank atau menyerahkan
pengelolaannya pada pihak lain.
· Melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung
atau melalui pengonversian tagihan adan khusus menjadi penyertaan modal bank.
· Melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan
surat paksa.
· Melakukan pengosongan atas tanah dan bangunan milik yang menjadi
hak bank yang dikuasai oleh pihak lain baik sendiri maupun dengan bantuan alat
negara penegak hukum.
· Melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala
keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan.
· Menghitung dan menetapkan kerugian yan di alami bank dalam program
penyehatan dan membebankan kerugin tersebut pada modal bank yang bersangkutan.
· Menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang
saham bank dalam program penyehatan.
· Melakukan tindakan lain yang di perlukan untuk menunjang
pelaksanaan wewenang yang dimilikinya.
Sesuai dengan
ketentun Pasal 15 PP Nomor 17 Tahun 1999, maka BPPN dalam rangka menjalankan kewenangannya
yang berkaitan dengan pengelolaan kekayaan yang berbentuk portofolio kredit
dapat melakukan penyertaan modal yang bersifat sementara dan paling lama ampai
berakhirnya jangka waktu pendiriannya. Penyertan modal dapat dilakukan pada :
·
Bank
dalam penyehatan
Dilakukan
dalam rangka mempertahankan kelangsungan usaha bank tersebut serta memperluas
kesempatan menarik investor baru dan atau dalam rangka penggabungan, peleburan
dengn bank lain, atau pertimbangan lainnya.
·
Debitur
Penyertaan
modal ini hanya dilakukan pada debitur yang berbentuk badan hukum dalam upaya
memaksimalkan nilai pengembalian kewajiban debitur.
·
Badan
hukum lainnya
Penyertaan
modal pada badan hukum tersebut dimungkinkan dalamPenyertaan
modal pada badan hukum tersebut dimungkinkan rangka meningkatkan nilai
ekonomi aset.
Dengan sifatnya
yang sementara maka BPPN setiap waktu dalam melakukan pengalihan modal dengan
cara menjual saham kepada pihak lain. Tindakan BPPN, baik yang berkaitan dengan
penyrtaan modal maupun divestasi wajib dilaporkan kepada instansi yang terkait.
Yang dimkasud intansi terkait adalah instansi yang berdasarkan peraturan yang
berlaku berfungsi menerima laporan sehubungan dengan adanya perubahan struktur
permodalan dan atas susunan pemegang saham, antara lain, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kehakiman, Bank Indonesia. Khusus
pula menyangkut perseroan terbuka maka selain dilaporkan juga perlu diumumkan
dalam satu surat kabar yang beroplah besar. Dengan dilaporkannya kepada
instansi terkait, maka kewajiban untuk memperoleh persetujuan telah dipenuhi.
Kewenangan BPPN
sangat luas. Dalam hal menyangkut kontrakyang mengikat bank dalam penyehatan
dengan pihak ketiga maka apabila dipandang menurutnya merugikan dapat dilakukan
peninjauan ulang, pembatalan, ataupun pengakhiran kontrak. Kontrak yang
dimaksud termasuk yang mengkikat dan atau berkaitan dengan kekayaan yang
dimiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh atau sehubungan
dengan perusahaan terafiliasi, debitur, dan atau aset dalam retrukturisasi.
Tindakan BPPN demikian harus terlebih dahulu ditetapkan dengan keputusan ketua,
yang selanjutnya diberitahukan kepada para pihak dengan surat tercatat atau
dengan cara lain.
Dalam hal
peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran dan atau pengubahan kontrak tersebut
menimbulkan kerugian bagi suatu pihak, pihak tersebut hanya dapat menuntut
ganti rugi yang tidak melebihi nili manfaat yang telah diperoleh dari kontrak
dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikan secara nyata dan jelas kerugian
yang dialaminya. Tuntutan ganti rugi hanya dapat diajukan oleh pihak yang
dirugikan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak
tanggal pengiriman surat pemberitahuan keputusan ketua yang menyangkut kontrak
tersebut.
BPPN sesuai
dengan ketentuannya berwenang untuk melakukan pengosongan atas tanah dan
bangunan milik yang menjadi hak bank dalam penyehatan atau BPPN dikuasai oleh
pihak lain. Pelaksanaan pengosongan ini hanya dapat dilakukan berdasarkan surat
perintah pengoongan. Surat perintah ini diterbitkan dan ditandatangani oleh
pejabat BPPN yang berwenang, di dalamnya harus mencantumkan, antara lain :
· Objek pengosongan
· Pihak pemegang hak
· Perintah dan atau waktu pengosongan
· Pertimbangan hukum
Mekanisme penyampaian surat pengosongan, yaitu surat perintah
pengosongan disampaikan kepada pemegang hak, penghuni, dan atau pengelola
dengan surat tercatat atau disampaikan dengan cara lain dengan disertai tanda
tangan penerima yang layak pada alamat sesuai perjanjian kredit, atau dokumen
lainnya. Pelaksanaan pengosongan dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh
BPPN. Pelaksanaannya dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh
pejabat pelaksana dan 2 orang saksi. Dan salinan berita acara tersebut diberitahukan
kepada pemegang hak, penghuni, pengelola, atau kepala desa atau kepala
kelurahan.
Kewenangan pengalihan aset yang dimiliki BPPN juga meliputi sesuatu
dari aset dalam restrukturisasi yang sedang digunakan atau dijaminkan (Pasal 28
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999). Pengalihan dan penjualan
hanya dapat dilakukan apaila harga penjualan yang ditentuak oleh BPPN lebih
besar daripada nilai akyual pinjaman yang secara langsung dijamin oleh kekayaan
atau barang yang dialihkan atau dijual tersebut. Pemegang hak jaminan atas aset
dalam restrukturasi menerima kompensasi sebesar nilai terendah diantara nilai
jaminan aktual pinjaman yang secara langsung dijamin oleh aset dalm
restrukturisasi yang dialihkan atau dijual tersebut ; atau penjualan bersih
setelah dipotong biaya dan atau pajak.
Penerima dan atau pembeli atas pengalihandan atau penjualanaset
dalam restrukturisasi dan kewajiban dalam restrukturisasi memperoleh seluruh
hak dan kewajiban serta segala manfaat yang berkaitan dengannya, termasuk hak
dan kewajiban berdasarkan suatu surat kuasa, dalam kedudukan yang sama dengan
pihak yang mengalihkan dan atau menjual sebelum terjadinya pengalihan dan atau
penjualan tersebut. Penerima pengalihan atau pembeli aset dalam restrukturisasi
dan atau kewajiban dalam restrukturisasi dianggap sebagai pihak yang beritikad
baik.
Dalam hal terjadi keberatan atau gugatan dari pihak mana pun
terhadap penjualan atau pengalihan tersebutmaka badan penyehatan perbankan
nasiona(BPPN) bertanggung jawab sepenuhnya dan tidak mengakibatkanbatalnya
penjualan atau pengalihan tersebut. BPPN juga dapat mengambil alih dan atau
membeli aset dalam restrukturisasi dalam rangka pengambilalihan aset berupa
benda tidak bergerak, seperti tanah, maka BPPN wajib membuat pernyataan bahwa
pembeliannya bersifat sementara. Perbuatan hukum seperti ini kemudian harus
dicatatkan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak atas Tanah. Namun, BPPN dapat
pula meningkatkan pembelian sementara ini menjadi pembelian tetap apabila :
· Hak atas tanah berakhir jangka waktunya sebelum BPPN dapat menunjuk
pihak lain sebagai pembeli yang sebenarnya atau
· Berakhirnya jangka waktu untuk penunjuk pembeli sebenarnya, tetapi
BPPN belum dapat menunjuk pembeli tersebut.
Tindakan dalam
rangka penyelesaian dan pengelolaan aset dalam restrukturasi dan kewajiban
dalam restrukturasi maka Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dapat
meliputi :
· Inventarisasi
· Penguasaan
· Pengelolaan
· Penyelesaian
Inventarisasi
adalah langkah BPPN untuk mengetahui keseluruhan aset dalam rekuntrukturasi dan
kewajiban dalam rekuntrukturasi yang merupakan kekayaan milik atau yang menjadi
hak dari bank dalam penyehatan yang meliputi segala bentuk hak, baik langsung
maupun tidak langsung, termasuk hak jaminan, hak sewa, dan hak-hak lain yang
diberikan oleh pihak manapun. Inventarisasi ini dapat dilakukan sendiri atau
dilakukan oleh pihak lain yang ditunjuk. Penunjukan pihak lain yang
mempertimangkan kemampuan, keahlian, pengalaman, kredibilitas, dan syarat
lainnya.
Bersamaan
dengan langkah inventarisasi tersebut maka dilakukan penguasaan. Kemudian, atas
tindakan tersebut perlu disampaikan pemberitahuan kepada kantor pendaftaran
untuk pemblokiran. Terhitung sejak tanggal pencatatan di kantor pendaftaran
tidak melakukan tindakan administratif dan atau tindakan-tindakan lain yang
mngakibatkan peralihan hak atas kekayaan yang disebutkan dalam surat keputusan
tersebut, kecuali peralihan dilakukan oleh BPPN sesuai dengan kewenangannya.
Salah satu
bentuk penyelesaian aset bank dalam penyehatan, yaitu penagihan piutang. Dalam
rangka penagihan yang sudah pasti dapat melalui surat paksa. Surat paksa
sekurang-kurangnya mencantumkan :
· Tanggal dan nomor surat paksa
· Nama identitas debitur
· Domisili debitur
· Jumlah uang debitur yang sudah pasti
· Batas waktu pelunasan
· Perimbangan hukum dan
· Perintah membayar.
Surat paksa ini
mempunyai kekuatan eksekutorial dan mempunyai kedudukan yang sama dengan suatu
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Langkah
selanjutnya sehari setelah penerimaan surat paksa, yaitu pelaksanaan sita
eksekusi atas kekayaan milik debitur yang dapat meliputi semua kekayaan, baik
yang telah diikat berdasarkan dokumen jaminan maupun yang tidak. Pelaksanaan
sita eksekusi harus berdasarkan surat perintah penyitaan dan dilakukan oleh
jurusita dengan dibantu dua orang saksi dan pelaksanaannya harus dituangkan
dalam berita acara penyitaan.berita acara tersebut harus didaftarkan pada
kantor pendaftaran untuk dicatat pada buku pendaftaran yang terkait tentang
adanya penyitaan tersebut. Adapun salinannya perlu diberitahukan kepada debitur
dan pengadilan negeri di wilayah kekayaan milik debitur yang disita itu berada.
Pemyitaan debitur dapat juga dilakukan terhadap kekayaan milik debitur yang
berada dalam penguaaan pihak ketiga. Adapun kekayaan yang tidak dapat disita,
yaitu barang-barang bergerak yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dari
debitur perorangan, yaitu pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang
digunakan oleh debitur dan keluarga yang menjadi tanggungannya, persediaan
makanan dan minuman untuk keperluan 1 bulan beserta peralatan memasak yang
berada dirumah, dll.
Barang yang
disita dapat dititipkan kepada debitur kecuali apabila barang yang dimaksud
berdasarkan pertimbangan BPPN perlu di simpan di tempat lain. Oleh karena
statusnya dalam sitaan, debitur dilarang mengubah bentuk, memindahtangankan,
menyewakan, menghilangkan dan atau merusak barang yang telah disita. BPPN dapat
menerbitkan surat pencabutan sita dalam hal debitur telah membayar lunas
kewajibannya. Dengan adanya keadaan pencabutan tersebut atas permintaan debitur
yang disertai dengan surat pencabutan sita, maka kantor pendaftaran akan
mencatat pencabutan blokir atau pengangkatan sita eksekusi.
Penjualan
kekayaan milik debitur yang telah disita dilakukan melalui pelelangan, yaitu
melalui penjualan umum yang dilakukan oleh kantor pelelangan atau penawaran
umum, pengalihan, atau penjualan efek yang diperdagangkan di bursa efek sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di bursa efek tempat terdaftarnya efek yang
bersangkutan.sedangkan pembagian hasil penjualan dilaksanakan berdasarkan
ketentuan hak memperoleh pemenuhan pembayaran lebih dahulu yang berlaku atas
piutang negara, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal
penyertan modal pemerintah atau penyertaan modal sementara pada bank yang
ditanganinya, etelah memenuhi kriteria tingkt kesehatan bank sesuai ketentuan
yang berlaku maka harus dikembalikan kepada Bank Indonesia. Penyerahan bank
dari BPPN kepada B.I harus disertai dengan informasi dan dokumen yang ada
padanya. Adapun bank dalam penyehatan yang dapat dierahkan kembali, yaitu bank
yang sehat penuh sesuai dengan ketentuan yang berlaku / bank yang cukup sehat
karena BPPN tidak mampu lagi menyehatkannya. Dengan penyerahan ini maka segala
tugas dan wewenang BPPN dalam melaksanakan fungsi penyehatan terhadap bank
dalam penyehatan yang bersangkutan telah berakhir.
BPPN juga
berwenang untuk membebankan kerugian serta perolehan ganti rugi dari pihak yang
telah melakukan perbuatan tersebut yang dalam hal ini dapat diebankan kepada
direksi, komisaris, dan pemegang saham. Menyangkut pembebanan ini hanya dapat
dibebankan pada transaksi yang melakukan dengan tidak wajar. Adapun tuntutan
ganti rugi tersebut dapat meliputi ganti rugi dalam jumlah keuntungan yang
diterima oleh orang tersebut akibat dari transaksi tersebut, dan atau kerugian
yang diderita bank dalam penyehatan sebagai akibat dari transaksi tidak wajar
tersebut. Jenis transaksi tidak wajar, antara lain, dapat kita lihat dari
penjelasan pasal 37A (3) huruf l
undang-undang nomor 10 tahun 1998, yaitu :
“Transaksi yang
menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak sah; transaksi yang tidak
berisikan syarat-syarat yang merupakan hasil negoisasi antara pihak-pihak yang
tidak berafiliasi; atau transaksi yang mengakibatkan bank tersebut menerima
nilai yang tidak sepadandengan nilai yang dilepaskan atau diserahkan oleh bank
itu.”
c)
Penguatan
peraturan perbankan
Setelah melewati badai krisis, sektor jasa keuangan terutama
perbankan mulai menata diri dan memperkuat landasan peraturan
prundang-undangannya. UU Perbankan hasil reformasi yang pertama mengalami
perubahan, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. UU tersebut
diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 dan kemudian dalam rangka mengantisipasi
krisis perbankan global 2008, UU Bank Indonesia juga mengalami perubahan
sebagaimana tertuang dalam peraturan pemerintahan pengganti UU Nomor 2 Tahun
2008 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Peraturan Pemerintah pengganti UU tersebut kemudian ditetapkan
menjadi UU melalui UU Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturn
Pemerintahan Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peruahan kedua atas UU
Nomor 23 Tahun 1999 tentang ank Indonesia.
Adapun peraturan yang baru menyangkut perbankan, yaitu UU Nomor 4
Tahun 2004 tentang Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS). Lembaga tersebut dibentuk
karena diperlukan sebagai lembaga untuk menjalankan program penjaminan simpanan
nasabah bank dalam rangka mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil. LPS
dibentuk sebagai lembaga yang independen tranparan, dan akuntabel yang dieri
tugas dan wewenang untuk melaksanakan program penjaminan simpanan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, LPS melakukan penjaminan
simpanan nasabah bank secara terbatas, tetapi dapat mencakup nasabah
sebanyak-banyaknya. Dalam penjaminan ini LPS akan membayar simpanan setiap
nasabah ank sampai jumlah tertentu, sedangkan simpanan yang tidak dijamin akan
diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Likuidasi ini merupakan tindak
lanjut dalam penyelesaian bank yang mengalami kesulitan keuangan.
Setelah lahirnya LPS, 4 Tahun kemudian terbit UU Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syari’ah. Rancangan UU tersebut sudah ada sejak tahun
2003. Hal demikian karena sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dibendung
lagi untuk berkembangnya perbankan. Pengaturaan mengenai Parbankan Syariah
dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik
operasional perbankan syariah, sedangkan disisi lain pertumbuhan dan volume
usaha bank syariah berkembang cukup pesat.
UU Pebankan Syariah ini pada tahun 2005 sempat menjadi salah satu
prioritas pembahasan Komisi XI dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas).
Namun, hingga akhir tahun 2005 belum dinahas dan disahkan. RUU itupun akhirnya
diajukan masuk ke Prolegnas tahun berikutnya dan baru pada tahun 2008 resmi
disahkan sebagai UU.
Dengan terbitnya UU Perbankan Syariah akan sangat penting dalam
mendorong industri perbankan syariah. Hal itu karena sejumlah faktor, salah
satunya memberikan kuatnya legitimasi negara atas sistem perbankan syariah juga
sekaligus diangkatnya prinsip-prinsip syariah kedalam sistem hukum nasional.
Setelah itu akan menjadi pemicu lahirnya sejumlah peraturan yang diharapkan
mendukung perkembangan perbankan syariah.
Dalam penjelasan umum UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah disebutkan bahwa dikembangkannya perbankan syariah yaitu sebagai salah
satu bentuk sarana penggalian potensi dan wujud kontribursi masyarakat dalam
perekonomian nasional yang dilandasi sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam.
Prinsip syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan,
keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai
terseut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada prinip
syariah yang disebut perbankan syariah.
Hadirnya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dipandang sangat penting karena akan menentukan perkembangan bidang atau
sektor keuangan di Indonesia. Sebenarnya OJK bermula dari rencana pembentukan
Lemaga Pengawa Jasa Keuangan(LPJK) yang independen, sebagaimana diamanatkan
dalam pasal 58 UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Pada awal
pemerintahan Presiden B.J Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank
Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral.
Amanat tersebut memerintahkan adanya perubahan secara mendasar
struktur pengawasan bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia. UU
tersebut tidak menjelaskan bagaimana bentuk dan desain LPJK (Kemudian menjadi
OJK) yang telah terbentuk tersebut. Berdirinya OJK menjadi era baru pengawasan
sektor keuangan di Indonesia. OJK memegang penuh aspek pengawasan terhadap
semua lembaga keuangan tak terkecuali yang berbasis syariah. OJK juga memiliki
berbagai kewenangan, diantaranya, baik dalam bidang pengaturan maupun
pengawasan sektor jasa keuangan.
Pengawasan
yang diberikan oleh OJK dilakukan dalam kerangka fungsi ajudikator. Oleh karena
itu, OJK dapat melakukan segala tindakan yang bersifat judisial, seperti
mencabut izin usaha atau melarang pihak-pihak tertentu yang melakukan
pelanggaran di bidang jasa keuangan untuk melakukan kegiatan usahanya. Selain
itu, saat ini OJK mempunyai kewenangan dalam penyidikan yang akan memberikan dorongan adanya
efektivitas dalam menjalankan tugas pengawasan. Dengan dimilikinya kewenangan
menyebabkan pengawas dapat melaksanakan upaya paksa dan hasil pemeriksaan yang
dilakukan oleh pengawas dapat dijadikan alat bukti di persidangan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia
Belanda. Pada masa itu bank di Indonesia bernama De javasche Bank NV didirikan
di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche
Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli
pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta terdapat
beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda.
B.
Kritik dan Saran
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan yang ada hubungannya
dengan judul makalah ini. Saya banyak berharap para pembaca, memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada saya demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi
saya dan pada khususnya juga bagi para pembaca. Amin
DAFTAR PUSTAKA
- Djumhana Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012)
- Ghazali,Djoni S. dan Usman Rachmadi. Hukum Perbankan.(Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
- Anggota IKAPI, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2012)
- Drs. Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, Cetakan ketiga, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991)
- http://www.slideshare.net/muhalidaaiz/sejarah-bank-indonesia, diakses pada tanggal 15 April 2016 pada pukul 09.00
- https://www.scribd.com/doc/181989242/Sejarah-Perbankan-Di-Indonesia-Serta-Perbedaan-Perbankan-Masa-Lalu-Dan-Saat-Ini, diakses pada tanggal 15 April 2016 pada pukul 09.15
- http://www.fh.unsri.ac.id/userfiles/Sap%20&%20silabus%20hukum%20perbankan.Pdf, diakses pada tanggal 16 April 2016 pada pukul 08.00
- https://www.academia.edu/2563617/Perbankan_Di_Indonesia_Dan_Peranannya_Terhadap_Perekonomian, diakses pada tanggal 16 April 2016 pada pukul 08.05
- http://www.belbuk.com/hukum-perbankan-di-indonesia-p-11021.html, diakses pada tanggal 16 April 2016 pada pukul 08.15
- https://abdulhakimsiagian.files.wordpress.com/2014/11/hukum-perbankan.pdf, diakses pada tanggal 16 April 2016 pada pukul 20.00