Rabu, 18 Mei 2016

KASUS KREDIT MACET BESERTA PENYELESAIAN DAN ANALISISNYA

KASUS KREDIT MACET BESERTA ANALISINYA 

Kasus :
Disuatu desa tepatnya tetangga saya sendiri, sering di datangi oleh pihak Bank, entah itu Bank mana. Saya tertarik untuk mencari tahu permasalahan tersebut, ketika saya bertanya kepada ibu saya. Ternyata tetangga saya itu (sebut saja si A) mengalami suatu permasalahan dalam kredit mengembalikan uang. Singkat ceritnya, Si A di rumah memang mempunyai toko kecil yang menjual berbagai macam sembako, tapi usaha tersebut mungkin tidak cukup untuk membiayai ke 4 anaknya yang masih duduk di bangku SD, SMP, dan Kuliah. Sehingga mengharuskan si A untuk pinjam dana di suatu Bank guna untuk bisa memenuhi kebutuhannya dan sedikit memperbesar usaha tokonya tersebut. Harapannya dengan memperbesar usaha di toko tersebut, penghasilan akan semakin bertambah dan bisa untuk membayar angsuran di Bank. Si A akhirnya meminjam uang di suatu Bank sebesar 10 juta dengan jaminan BPKB motor, kredit tersebut ber jangka waktu 2 tahun atau 24 bulan dengan bunga 2 % per bulan. Awalnya si A membayar angsuran tersebut berjalan lancar dan sesuai kewajiban. Tetapi tanpa di duga pada angsuran ke 12 pembayaran tersebut mulai terlambat dari jadwal yang telah ditentukan oleh Bank, mungkin karena tokonya lagi sepi pembeli atau karena faktor apa saya juga kurang tahu. Ketika dapat ditemui oleh pihak Bank, Si A mengaku bahwa usahanya menurun sehingga tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Tetapi si A akan mengusahakan untuk bisa membayar angsuran kredit tersebut. Akhirnya pihak Bank melakukan suatu pembinaan rutin dikarenakan agar si A tidak semakin berlarut-larut, Bank juga menyampaikan Surat peringatan dan panggilan kepada si A serta melakukan pendekatan pada keluarga dan orang tuanya. Upaya tersebut belum membuahkan hasil yang menggembirakan bagi pihak Bank. Karena si A nampaknya acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut.
Penyelesaian :
Apabila terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang jaminan, Bank terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk itu Bank menggugat si A atas dasar wanprestasi. Akan tetapi sebelum menggugat si A, Bank melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar si A memenuhi prestasinya. Apabila si A tidak juga memenuhi prestasinya, maka Bank dapat menggugat si A atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila pengadilan memutuskan bahwa si A telah wanprestasi, maka Bank dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.
Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada apakah jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila si A melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan dapat membuat Bank berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan.
Bank dapat melakukan eksekusi terhadap barang yang menjadi agunan melalui Balai Lelang. Dari hasil lelang tersebut digunakan untuk menutupi kredit macet tersebut dan apabila masih ada sisa, maka bank harus mengembalikan kepada si A setelah dikeluarkan untuk seluruh kewajiban hutang dan bunga. Eksekusi dapat melalui pihak Kantor Lelang Negara atau Pengadilan Negeri. Dalam melakukan eksekusi terhadap barang agunan milik si A, pihak bank harus memperhatikan hak-hak dan kedudukannya.
Analisis :
Kredit macet mempunyai dampak negatif bagi kedua belah pihak. Bagi nasabah, dalam hal ini nasabah yang masih beritikad baik, artinya kredit macet terjadi bukan disengaja, kredit macet berarti ia harus menanggung beban kewajiban yang cukup berat terhadap bank. Karena bunga tetap dihitung terus selama kredit belum dilunasi. Mengingat setiap pinjaman dari bank (konvensional) mengandung bunga, maka jumlah kewajiban nasabah semakin lama akan semakin bertambah besar. Sedangkan bagi bank, dampaknya lebih serius karena selain dana yang disalurkan untuk kredit berasal dari masyarakat, kredit macet juga mengakibatkan bank kekurangan dana sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Bank yang terganggu kesehatannya, akan sulit melayani permintaan nasabah, seperti permohonan kredit, penarikan tebungan, dan deposito. Keadaan yang demikian akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank hingga manjadi berkurang. Bahkan bukannya tidak mungkin izin usaha bank dicabut pemerintah dan dilikuidasi.
Dalam kasus tersebut diatas, jika dilihat dari aspek perdata maka nasabah dipandang telah melakukan wanprestasi, sebab ia tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai mana yang tertuang dalam perjanjian kredit tersebut. Yaitu membayar angsuran setiap bulannya. Ini berarti nasabah tersebut telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji. Meskipun bank selaku kreditur memiliki kedudukan istimewa sebagaimana yang di uraikan, dan dampak dari kredit macet ini sangat serius terhadap bank yang bersangkutan. Tetapi dalam hal ini bank tidak dapat melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan apabila menagih kepada nasabah. Karena bisa saja macetnya kredit tersebut bukan kesengajaan dari nasabah, tetapi karena ada faktor-faktor lain diluar kehendak dari nasabah yaitu salah satunya karena nasabah terkena keruguan yang dimana tokonya sepi dari pembeli, sehingga menyebabkan usahanya macet dan akibatnya ia tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya yaitu membayar angsuran perbulannya. Selain itu kedudukan nasabah juga mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, bank dalam menyikapi kredit macet tersebut harus memperhatikan hak-hak dan kedudukan nasabah yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Berdasarkan kasus diatas, maka bank sebelum menyepakati suatu perjanjian kredit harus memiliki keyakinan mengenai kesanggupan, kemampuan, dan kemauan debitur untuk melunasi utangnya. untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur, agar kasus kredit macet dapat diminimalisir.
Jadi perbuatan tersebut telah melanggar pasal 8 ayat (1) dan pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Kesimpulan :
Dari kasus dan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Untuk menyelesaikan kredit bermasalah atau non-performing loan itu dapat ditempuh dua cara atau strategi yaitu penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit. Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank sebagai kreditor dan nasabah peminjam sebagai debitor, sedangkan penyelesaian kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum.  Lembaga hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara (DJPLN), melalui Badan Peradilan, dan melalui Arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian sengketa.
Karena dalam kegiatan perkreditan tersangkut beberapa pihak, yakni kreditur, debitur serta pihak-pihak yang terkait, maka dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) kepentingan para pihak tersebut diperhatikan dan diberikan keseimbangan dalam perlindungan dan kepastian hukumnya.
Bank sebelum menyepakati suatu perjanjian kredit harus memiliki keyakinan mengenai kesanggupan, kemampuan, dan kemauan debitur untuk melunasi utangnya. untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur, agar kasus kredit macet dapat di minimalisir.

Sumber :
http://www.hukumonline.com diakses pada tanggal 17 Mei 2015, Pukul 15.00

2 komentar:

  1. Dalam bagian penyelesaian, seharusnya yang dinyatakan wanprestasi itu banknya apa nasabahnya?

    BalasHapus